Friday, 17 January 2025

, ,

Menjadi Ibu, Menjadi Bunglon

Dulu saya menduga kalau menjadi Ibu Rumah Tangga adalah senyaman-nyamannya pekerjaan bagi kaum introvert. Maka, setiap kali orang membahas soal cita-citanya, dengan lantang saya menjawab bahwa saya ingin menjadi ibu rumah tangga. Alasannya, supaya bisa banyak di rumah dan tidur siang, ini serius. Ibu saya adalah seorang ibu rumah tangga sejak usianya 20 tahun, dan kala itu saya sering melihat beliau tidur siang dan jarang menghabiskan waktu di luar rumah. Cocok banget, saya suka sekali tidur dan saya suka mengurung diri di rumah, saya ingin menjadi ibu rumah tangga!

Saya sudah melakukan beberapa pekerjaan sebelum menikah, hampir semua adalah pekerjaan yang berhubungan dengan manusia, tentu saja, karena saya lulusan bidang ilmu yang kerjanya ngurusin dalemannya orang. Sebagai seorang yang telat menyadari bahwa dirinya seorang introvert, adalah sebuah kesalahan besar ketika saya memilih jurusan kuliah yang kerjaannya berhubungan dengan manusia. Mulai dari teori-teori sampai praktikumnya. Sebelumnya, saya punya memori yang menyenangkan soal praktikum, terutama biologi. Rasanya menyenangkan meneliti makhluk hidup, memuaskan rasa penasaran soal apa yang terjadi di dalamnya. Sayangnya, ini gak berlaku di manusia. Praktikum yang saya jalani pada saat kuliah, sangat-sangat menguras emosi. Masuk akal jika semuanya terasa begitu berat dan berbeda. Kodok yang dibelek, gak akan tiba-tiba tidak hadir karena ada urusan lain, atau terlambat karena terjebak macet, atau tiba-tiba menghilang. Terlalu banyak variabel yang bergantung pada subjek penelitian, sangat sulit diprediksi, dan amat sangat menyebalkan. Saya ingat pernah menangis dalam angkot, magrib-magrib, sepulang dari praktikum, karena si subjek bercerita soal pengalaman pahit dengan dosennya, secara emosional. Marah-marah, tunjuk-tunjuk muka, sumpah serapah keluar tepat depan wajah saya seakan saya sedang cosplay menjadi dosennya. Sesampainya di rumah, penyiksaan masih berlanjut, saya harus membuat laporan atas praktikum tersebut, yang berarti saya harus mendengarkan rekaman praktikum tersebut berulang-ulang selama 3 hari berturut-turut. 

Karena tidak mau terus-terusan merasa tersiksa, akhirnya saya memaksa diri untuk beradaptasi dengan keadaan, menjadi bunglon, mengubah sudut pandang, mencoba tertarik dengan manusia sampai pada akhirnya, lulus. Pekerjaan (formal) pertama saya adalah menjadi HRD di salah satu perusahaan FnB di Indonesia, sebuah perusahaan keluarga yang gerainya tersebar di seluruh Indonesia. Karena saat itu perusahaan ini masih berkembang, struktur organisasinya masih sangat sederhana, tiap kota hanya ada 1 HRD yang mengerjakan semuanya, dari mulai rekruitmen, training, administrasi kepegawaian, pembuatan KPI, dan sesekali mendampingi atasan dalam perencanaan bisnis. Sebetulnya pekerjaannya menyenangkan, kalau saja saya punya 5 kepala dan 10 tangan. Maka dari itu, saya mulai melamar kerja di tempat lain.

Pekerjaan setelahnya adalah pekerjaan formal terlama saya, dan yang paling menyenangkan. Perusahaan ini memang khusus mengelola SDM di berbagai perusahaan, jadi tentu berhubungan dengan banyak klien, banyak manusia. Lagi-lagi, menjadi bunglon. Kali ini saya tidak keberatan, karena bunglon ini berdiam di pohon-pohon rimbun dengan berbagai macam buah-buahan. Tidak ada alasan saya keluar dari tempat tersebut selain alasan saya harus menikah dan pindah ke luar kota, luar provinsi, luar pulau. Atasan sempat menawarkan saya untuk mengisi posisi di kota yang baru saya tempati, namun karena lokasinya terlampau jauh dari kantor suami, dengan berat hati saya tolak. Lagipula, setelah bertahun-tahun mengabdi pada perusahaan dan menjadi makhluk super sosial, mungkin ini saatnya saya mengejar cita-cita saya, memuaskan tangki introvert, menjadi Ibu Rumah Tangga, ngajedog di rumah dan tidur siang sepuasnya.

1 tahun menjadi ibu rumah tangga, saya akhirnya punya anak, betulan jadi ibu-ibu. Sebelum memutuskan menjadi ibu, sebisa mungkin saya menyiapkan diri untuk menghadapi hal-hal yang akan terjadi ke depannya  Katanya, kekurangan tidur di malam hari adalah hal yang tidak bisa dihindari. Tidak menjadi soal, saya bisa kompromi dengan  tidur di siang hari bersama bayi, meski tidak sekenyang dulu. Lagipula, periode bayi ini hanya sesaat, kelak anak saya sekolah, saya pastinya akan lebih santai dan bisa bermalas-malasan di rumah. Lagi-lagi, saya pikir begitu. Tapi ternyata, bersamaan dengan hadirnya bayi dalam hidup saya, hadir juga tantangan lain yang tidak saya bayangkan sebelumnya. Punya bayi ternyata memaksa saya untuk menjadi seorang extrovert! Maksudnya?

Mulai dari saat bayi lahir, semua orang penasaran ingin jumpa. Dalam 1 bulan, menerima tamu-tamu yang ingin menyelamati dan mendoakan kami adalah hal yang biasa dan menyenangkan untuk  dihadapi. Tapi, bulan-bulan selanjutnya, apapun aktivitas yang saya lakukan sambil membawa si bayi, saya harus berramah tamah ria setiap bertemu dengan orang lain. Membawa anak jalan-jalan pakai stroller di sepanjang komplek, membawa anak ke rumah sakit untuk imunisasi, belanja bulanan, pasti ada saja orang asing menghampiri yang mengajak ngobrol. Diawali dengan pertanyaan-pertanyaan seputar bayi yang gak jauh-jauh dari "ini berapa bulan, teh?, berlanjut dengan beratnya berapa, lahir normal atau sc, anak keberapa, lahir di mana, tanggal berapa, dokternya siapa, biaya lahiran berapa, kamu di mana, dengan siapa, semalam berbuat apa (yang tau lagu ini, kalian udah rutin minum tolak angin gak, sekarang?). Intinya, saya merasa bayi bagaikan magnet bagi manusia yang ada di sekelilingnya, dan bagi saya yang memiliki energi terbatas untuk menghadapi anak cucu Adam ini, rasanya amat sangat melelahkan.

Bayi dikatakan juga memiliki kebutuhan sosial, meski tampaknya seperti tidak memahami apa yang kita lakukan, mereka merespon. Seperti spons, mereka menyerap semua stimulus, informasi yang ada di sekitarnya. Saya mencoba menjadi ibu yang bertanggung jawab, ingin menghadirkan stimulus-stimulus yang baik, menjadi contoh yang baik. Itulah pertama kalinya saya berkompromi, mengalah dengan ketidaknyamanan saya bercengkrama dengan manusia dalam frekuensi yang lebih tinggi dari biasanya. Meski saya dikenal judes, senang menyendiri, ngamar dibanding nongkrong-nongkrong dengan banyak orang, bukan berarti anak saya harus seperti itu juga. Tapi juga, saya bukan memaksa anak menjadi extrovert, ini tidak ada hubungannya dengan kelak dia menjadi introvert atau extrovert. Poinnya adalah soal keinginan saya untuk memberikan dia kesempatan untuk berkembang tanpa batas. Jadi, jika kelak anak saya memang introvert, itu murni karena dirinya, bukan karena saya yang memberi ruang sempit untuk bersosialisai. 

Memasuki usia batita, kemampuan anak dalam menyerap informasi semakin meningkat. Observasi semakin tajam, membuat saya semakin berhati-hati dalam berucap dan bertindak. Salah satu hal yang meningkat drastis adalah, dia tertarik melihat orang lain, dia penasaran dengan makhluk-makhluk lain, selain ibunya. Maka masuklah saya pada fase yang sampai saat ini masih berjalan, mencarikan Arsy teman untuk memenuhi kebutuhan sosialnya. Beberapa kali saya ikutkan Arsy untuk ikut klub-klub, berkenalan dengan orang tua yang memiliki anak-anak seusia Arsy, playdate ke sana kemari Saya, masih seperti ini. Menjadi bunglon, menjadi apa saja yang Arsy butuhkan, bahkan dengan menembus dinding yang ada di sekeliling saya selama ini, jika untuk kebaikan Arsy, I'll do it without hesitation.



Kalau dipikir-pikir lagi, saya keliru memahami apa yang dihadapi ibu saya saat itu. Beliau bukan tidur siang, namun beristirahat karena kehabisan energi dalam mengasuh 3 anak yang "manis". Semuanya jadi terasa jelas, kenapa selama ini orang-orang sering bilang kalau jadi ibu rumah tangga adalah pekerjaan yang sangat berat. Ternyata job descnya macam-macam, tidak terbatas, tidak bisa untuk bilang "tidak bisa", tiada hari tanpa berkompromi dengan situasi yang tak terduga, dan yang paling penting adalah perlunya kemampuan beradaptasi di atas rata-rata, harus tetap perform meski di bawah tekanan. Tapi, yang paling epic adalah, justru keadaan ini membuat saya memaksa diri untuk melakukan hal-hal baru yang tidak pernah saya coba sebelumnya. 

Ada 1 privilige yang saya miliki saat ini yaitu dikelilingi oleh ibu-ibu extrovert yang memahami bahwa saya adalah si introvert yang mudah lelah jika bercengkrama dengan mereka. Maka mereka sudah tak heran lagi melihat saya menyendiri di dalam rumah pohon playground, di kolong perosotan playground, pojok-pojok tak terlihat yang lumayan nyaman untuk saya tempati. Bagaimanapun juga, introvert butuh charging, demi keamanan dan kenyamanan bersama, baik bagi ibunya, maupun anaknya, bahkan lingkungan sekitarnya.

Segala upaya dan pengorbanan tanpa batas ini, tidak akan muncul jika bukan Arsy yang mendorongnya  dan Tuhan yang memunculkannya. Hingga pada akhirnya, saya meyakini bahwa tidak ada satupun yang mampu untuk memberi upah yang sepadan bagi ibu rumah tangga, kecuali Tuhan. Limpahan pahala bagimu, ibu-ibu, Insya Allah.

0 comments:

Post a Comment